Walaupun sudah bertekad untuk tidak melakukannya, sepertinya tekad saja tidak cukup untuk berubah.Saya masih sering menunda-nunda menyelesaikan pekerjaan. Bon-bon pembelian di tumpuk dengan pikiran nanti akan dikerjakan, catatan pembayaran dimasukan ke dalam sebuah folder dalam niatan dikerjakan setelah selesai browsing, slip gaji di stapler dengan harapan ada jin yang akan membantu menyelesaikannya nanti.
Kemarin saya curhat pada Ci Lilik yang punya bisnis money changer dan banyak membantu teman-teman yang senang mengoleksi mata uang asing.Sewaktu menceritakan pekerjaan administrasi saya yang berantakan, si happy face itu tertawa geli," lah kok sama ya Vi..." Terus dia bercerita bagaimana dia memperlakukan tata administrasi. Kalau menilai sekilas, tampaknya kemalasan Ci Lilik lebih akut!
Mestinya lega ya, dapat teman seperjuangan? Tapi gak tuh! Sekalipun sistem administrasi perusahaan Ci Lilik sama, faktanya kondisi keuangan perusahaan kami beda. Dia berada di atas dan aku beberapa tingkat di bawah.
Terus tak tanya diri sendiri, sebetulnya terjun ke bisnis ini untuk membela kepentingan siapa sih? Kepentingan diri sendiri! Hasilnya untuk siapa? Untuk diri sendiri! Kalau mendapat keuntungan? Ya pertama-tama pasti lah untuk menyenangkan diri sendiri walaupun nanti bisa dicarikan dalih-dalih seperti membantu kesejahteraan orang lain...
Terus kalau begitu, mengapa lebih suka memelihara raksasa malas di dalam diri?
Nah itu masalahnya. Malas dan logika sehat itu sama-sama bersemanyam dalam satu tubuh.Bagaimana ya caranya selalu memenangkan logika sehat dalam satu pertempuran?